Perkuad-media.id, BATAM – Pengembangan Vaksin Nusantara yang digagas Letnan Jenderal TNI (Purn) dr. Terawan Agus Putranto telah menuntaskan uji klinis fase II. Peneliti utama Vaksin Nusantara dr. Jonny mengungkapkan tujuan uji klinis itu adalah menetapkan usulan efikasi berdasarkan perbandingan respons terhadap protein S, mengonfirmasi keamanan Vaksin Nusantara dan memilih formulasi optimal yang ditentukan oleh jumlah protein S SARS-CoV-2.
Melansir CNBC Indonesia, dalam uji klinis ini, ada syarat subyek, seperti usia minimal 18 tahun, memahami dan setuju mematuhi prosedur, dan subyek dapat mematuhi prosedur penelitian. Subyek secara umum memenuhi kriteria sehat, termasuk usia lebih 65 tahun, obesitas ringan hingga sedang, dan pernah didiagnosis kanker sebelumnya dan sudah remisi minimal 1 tahun.
dr. Jonny menjelaskan ada 227 subyek saat skrining terbagi atas 149 inklusi dan 78 eksklusi. Pada kelompok inklusi ada yang 9 gagal skrining karena beberapa diantaranya IgG dan PCR positif. Lalu setelahnya minggu ketiga menyelesaikan penelitian 136 subyek.
“Kejadian yang tidak diinginkan derajat ringan, didapatkan 21 atau 15,44% mengeluhkan 24 reaksi lokal pegal, memar, kemerahan dan gatal. Paling banyak adalah pegal dititik penyuntikan,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/6/2021).
Untuk follow-up minggu pertama sampai keempat tidak ada reaksi sistemik. Termasuk juga tidak didapatkan kejadian serous adverse event. Selain itu juga tidak ada kelainan dari hasil pemeriksaan laboratorium.
“Sebagai kesimpulan follow up selama penelitian, sampai saat ini keamanannya baik, belum ada kejadian tidak diinginkan baik, belum ada Kejadian Tidak Diinginkan Berat/Serius. Dari ketiga dosis Antigen Protein S yang digunakan meningkatkan imununogenitas seluler. Dosis antigen Protein S minimal yang bisa memberikan imunogenitas seluler optimal adalah 0,1 mikrogram,” kata dr. Jonny.
Sementara itu, dr. Yetty yang termasuk dalam penelitian ini, menjelaskan soal uji klinis fase I masih melakukan evaluasi hingga satu tahun. Tujuan evaluasinya adalah follow-up efek samping dan memiliki data kekebalan jangka panjang.
Dia mengatakan dari efek samping fase I Kejadian Tidak Diinginkan 70%. Namun, dr. Jonny mengatakan itu bukan angka yang tinggi.
“Pada evaluasi fase I kejadian tidak diinginkan derajat ringan, tidak ada satupun tidak memerlukan perawatan. Juga ditanyakan pada subyek keluhan rata-rata reaksi lokal derajat I atau II,” kata Yetty.
Yetty juga menjelaskan soal efek samping grade III adalah pasien yang mengalami kenaikan kolesterol. Setelah dilaporkan dan ditelaah, dianggap tidak berbahaya.
“Kondisi tidak dalam keadaan puasa sehingga kolesterol fluktuatif. Sangat ringan sehingga oleh DSMP kemungkinan besar tidak ada hubungannya dengan vaksin,” ungkapnya.