Perkuad-media.id, BATAM – Pemerintah Pusat akan mengimpor tiga jenis obat, yaitu Remdesivir, Actemra dan Gamaras pada Juli-Agustus 2021. Ketiga jenis obat ini diimpor dari berbagai negara dengan suplai yang berbeda-beda untuk masing-masing obat. Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melalui konferensi pers virtual.
“Kita ada tiga obat lain yang belum bisa diproduksi di dalam negeri sehingga sangat bergantung pada impor, seperti Remdesivir, Actemra, dan Gamaras. Ini adalah obat-obatan yang di seluruh dunia juga sedang short supply karena semua orang butuh obat-obatan ini,” ungkap Budi dilansir CNN Indonesia Senin (26/7).
Budi merinci rencananya pemerintah akan mengimpor Remdesivir sebanyak 150 ribu vial pada Juli 2021. Lalu, akan mengimpor lagi mencapai 1,2 juta vial pada Agustus 2021.
Kendati mengimpor, namun Budi mengatakan pemerintah tetap berusaha memproduksi obat jenis ini sendiri di dalam negeri.
“Kami sedang dalam proses buat Remdesivir di dalam negeri, doakan mudah-mudahan agar ini bisa segera terjadi,” ucapnya.
Selanjutnya, pemerintah akan mengimpor Actemra sebanyak 1.000 vial pada Juli dan 138 ribu vial pada Agustus 2021. Budi mengatakan obat ini akan diimpor dari negara-negara yang mungkin tidak dibayangkan masyarakat sebelumnya.
“Ini obat yang sangat terkenal karena harganya jadi Rp50 juta, bahkan ratusan juta, padahal harga sebenarnya di bawah Rp10 juta,” imbuhnya.
Terakhir, pemerintah bakal mengimpor Gamaras sebanyak 26 ribu vial pada Juli dan 27 ribu vial pada Agustus 2021. Dengan begitu, stok dari tiga jenis obat impor ini akan masuk ke tanah air secara bertahap.
Selain mengumumkan kebijakan impor, Budi juga meminta masyarakat untuk tidak membeli ketiga obat ini untuk stok di rumah. Sebab, kebutuhan obat-obatan ini sangat tinggi, sehingga sebaiknya baru dibeli ketika benar-benar dibutuhkan.
“Obat ini adalah obat yang harus diberikan dengan resep. Itu harus disuntikkan dan hanya bisa dilakukan di RS. Jadi tolong biarkan obat-obatan ini dikonsumsi sesuai prosedurnya karena saya juga melihat dan saya takut banyak yang kemudian kita ingin beli sendiri dan ditaruh di rumah karena takut. Tapi Bapak Ibu, kasihan yang sakit, kalau kita sebagai orang sehat ingin simpan obat,” katanya.
Ia memberi contoh, misalnya ada 20 juta keluarga kelas menengah yang membeli obat satu paket isi lima tablet. Maka jumlah obat yang terserap dan tersimpan di rumah-rumah masyarakat mencapai 100 juta obat.
Padahal, obat sebanyak ini akan lebih berguna ketika ada penderita covid-19 yang benar-benar membutuhkan.
“Jadi kami minta tolong agar obat-obat ini dibeli oleh orang yang membutuhkan, bukan dibeli oleh kita untuk stok. Kasihan teman-teman kita yang membutuhkan,” tuturnya.
Di sisi lain, Budi turut menjamin ketersediaan stok untuk obat-obat bagi penderita covid-19 yang lain, seperti; Azithromycin, Oseltamivir, dan Favipiravir. Menurut data yang dikantonginya sampai hari ini, stok obat Azithromycin ada sekitar 11,4 juta tablet.
“20 produsen lokal akan memproduksi obat ini, jadi sebenarnya kapasitas produksi mencukupi, memang ada sedikit hambatan di distribusi, yang kita bicarakan dan sekarang setiap hari kita berkonsultasi dengan teman-teman di GP Farmasi untuk memastikan agar obat Azithromycin ini bisa masuk ke apotek-apotek,” jelasnya.
Lalu, Favipiravir stoknya ada 6 juta di seluruh Indonesia. Ia memastikan stok obat ini akan bertambah karena beberapa produsen bakal menambahnya. PT Kimia Farma Tbk misalnya, sudah berencana memproduksi sekitar 2 juta tablet per hari.
Sementara itu PT Dexa akan mengimpor sekitar 15 juta tablet pada Agustus 2021.
“Kita akan impor juga 9,2 juta tablet dari beberapa negara mulai Agustus. Ada beberapa pabrik baru yang rencananya di Agustus akan produksi 1 juta Favipiravir setiap hari dan Favipiravir ini akan menggantikan Oseltamivir sebagai obat antivirus,” terangnya.
Lebih lanjut, Budi menargetkan hasil produksi di dalam negeri akan bisa menghasilkan sekitar 2-4 juta tablet Favipiravir per hari. Sementara stok Oseltamivir saat ini sekitar 12 juta tablet sampai Agustus 2021.
“Tapi karena ini perlahan akan diganti oleh Favipiravir, kami akan pertahankan stok ini,” ujarnya.
Tak cuma memastikan stok obat, Budi juga mengatakan pemerintah telah bekerja sama dengan GP Farmasi untuk mendistribusikan obat-obatan ini ke 12 ribu apotek aktif yang ada di seluruh Indonesia. “Mereka sudah sadar ini bukan masalah harga lagi. Ini masalah distribusinya. Mereka akan bantu kami distribusi ke sekitar 12 ribu apotek aktif di Indonesia. Diharapkan kita bisa tingkatkan 9.000 apotek lagi yang bisa kita kasih obat-obatan ini secara konsisten suplainya. Itu akan menstabilkan suplai obat di seluruh Indonesia,” pungkasnya.