Perkuad-media.id, BATAM – Terkait desakan karantina wilayah atau lockdown dari sejumlah pihak, pakar epidemiologi menilai itu bisa diterapkan secara efektif dengan cara penutupan wilayah tertentu dan diberlakukan pada periode tertentu saja.
Sebelumnya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menyerukan lockdown menyusul lonjakan kasus Corona dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro yang dinilai tak lagi efektif.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman memberikan setidaknya dua catatan soal lockdown ini. Pertama, pemerintah diminta untuk mulai mengkaji opsi karantina wilayah atau kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di area tertentu.
“Di pulau Jawa ini, hal itu harus disiapkan, PSBB atau karantina wilayah. Dalam hal ini pemerintah pusat dan provinsi melakukan skenario dan persiapan pilihan dari opsi itu,” kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (20/6).
Menurut Dicky, opsi lockdown itu merupakan salah satu pilihan tepat karena ia memprediksi penyebaran Corona akan kian pesat hingga empat minggu ke depan. Selain itu, opsi ini juga untuk mengurangi beban fasilitas kesehatan.
Dia menyatakan pemerintah tidak perlu melakukan lockdown atau PSBB ke seluruh provinsi Indonesia.
“Kalau yang bermasalah se-Jawa, harus se-Jawa, atau setidaknya mayoritas daerah di Jawa, plus Bali dan Madura,” imbuh Dicky.
Catatan kedua, lockdown juga perlu dilakukan minimal selama satu kali masa inkubasi virus atau sekitar satu bulan.
“Minimal itu satu kali masa inkubasi. Yang ideal secara umum, efektif untuk negara berkembang itu (sekitar) satu bulan untuk satu kali masa inkubasi. Ini tentu yang harus dipertimbangkan dan disiapkan,” jelas dia.
Ia juga mengatakan kebijakan lockdown atau PSBB harus mendapat dukungan dan komitmen politik.
“Jadikan sektor kesehatan sebagai leading dan fokus. Ini yang belum jadi fokus kita. Saya kira ini harus jadi evaluasi segera, supaya tidak semakin berat masalah pandemi kita,” tutur Dicky.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono meragukan pemerintah mau mengambil kebijakan lockdown ataupun PSBB. Kalau pun pemerintah menerapkannya, ia menilai hal itu sudah telat.
Menurut dia, seharusnya pemerintah menjalankan PSBB seperti yang diterapkan Jakarta tahun lalu ketika virus mulai menyebar. Namun, ia menilai ada ego sektoral yang membuat kebijakan ini tidak lagi berjalan.
Pandu juga menyindir kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro yang diinisiasi pemerintah pusat. Pasalnya, menurut dia, kebijakan ini tidak efektif dalam menekan laju penyebaran virus.
“Kalau efektif kan udah terbukti, kalau PSBB seperti DKI dulu efektif. Dalam UU Karantina itu enggak ada PPKM, adanya PSBB. Tapi gara-gara Gubernur DKI bikin PSBB tahun lalu, marah lah pemerintah pusat,” ungkap Pandu.
Beberapa waktu lalu, ungkapnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat bertemu Presiden Joko Widodo untuk memperketat pergerakan masyarakat, demi mencegah penularan. Dalam pertemuan itu, menurutnya, pemerintah belum memutuskan kebijakan lanjutan dalam menangani pandemi.
“Emangnya Pak Anies enggak minta izin diketatkan? Ngapain kemarin Pak Anies dipanggil Pak Jokowi coba? Lihat ada pembicaraan agar PSBB? Artinya PSBB tidak diizinkan. Apalagi mau lockdown,” cetus Pandu.
Per Minggu (20/6), jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 1.989.909 kasus. Di sisi lain, kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan mulai kewalahan menangani para pasien.
Berdasarkan data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) tingkat keterisian rumah sakit di Pulau Jawa berada di atas ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) sebesar 60 persen.
Misalnya, di Jakarta telah mencapai 84 persen, Jawa Barat 81 persen, Banten 79 persen, Jawa Tengah 79 persen, dan Yogyakarta sebesar 74 persen.
Di kutip dari CNNIndonesia.com