Perkuad-media.id, BATAM – Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam Lumban Tobing mengatakan total kerugian masyarakat akibat investasi ilegal mencapai Rp117,4 triliun. Angka ini terhitung sejak 2011 sampai 2021.
“Ini tentu sangat banyak yang ditipu, 2011 banyak, lalu turun lagi 2012, lalu naik lagi pada 2020,” ungkap Tongam dalam Webinar Literasi Keuangan Indonesia Terdepan, Kamis (5/8).
Tongam merinci nilai kerugian masyarakat akibat investasi ilegal pada 2011 sebesar Rp68,62 triliun, 2012 sebesar Rp7,9 triliun, 2014 sebesar Rp235 miliar, 2015 sebesar Rp289 miliar, 2016 sebesar Rp5,4 triliun, 2018 sebesar Rp1,4 triliun, 2019 sebesar Rp4 triliun, 2020 sebesar Rp5,9 triliun, dan 2021 sebesar Rp2,5 triliun.
Berdasarkan catatan Tongam, jumlah entitas ilegal yang ditangani terus bertambah setiap tahun. Tercatat, SWI menangani 79 entitas ilegal pada 2017.
Lalu, jumlahnya bertambah menjadi 106 entitas ilegal dan 404 fintech P2P lending ilegal pada 2018. Kemudian, SWI menangani 442 investasi ilegal, 1.493 fintech P2P lending ilegal, dan 68 gadai ilegal pada 2019.
Selanjutnya, SWI menangani 347 investasi ilegal, 1.026 fintech P2P lending ilegal, dan 75 gadai ilegal pada 2020. Tahun ini, SWI menangani 79 investasi ilegal, 442 fintech P2P lending, dan 17 gadai ilegal.
Meski sudah banyak menangani kasus investasi ilegal, Tongam mengaku pihaknya masih kesulitan memberantas pelaku investasi ilegal di Indonesia. Masalahnya, mereka selalu bermunculan dengan nama baru ketika SWI sudah memblokir situs penawaran investasi ilegal tersebut.
Ia memaparkan beberapa ciri investasi ilegal, antara lain menjanjikan keuntungan yang tidak wajar dalam waktu singkat, menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru, memanfaatkan tokoh masyarakat untuk menarik minat investasi, klaim tanpa risiko, dan legalitas tidak jelas.
Tongam mencontohkan salah satu skema money game yang kerap menjadi modus investasi ilegal. Ada salah satu oknum yang menawarkan saham dengan bunga.
Sementara, masyarakat biasanya baru melaporkan investasi ilegal ketika sudah merugi. Ketika masih untung di awal, masyarakat cenderung diam.
Untuk itu, ia meminta agar masyarakat mengecek lagi legalitas dari setiap entitas yang menawarkan investasi. Terlebih, jika penawaran bunganya cukup tinggi.
“Apabila menerima penawaran investasi dengan iming-iming imbal hasil tinggi kenali 2L, legal status perizinan dan logis imbal hasilnya,” jelas Tongam.
“Hanya 5 persen masyarakat yang paham pasar modal. Jauh di bawah tingkat literasi keuangan yang rata-rata 38 persen,” ucap Tirta.
Dengan kata lain, banyak masyarakat yang berpotensi tertipu investasi ilegal di sektor pasar modal. Sebab, hanya sedikit masyarakat yang bisa melindungi diri dari praktik penipuan.
“Saya memiliki keyakinan bahwa investor ritel yang melek keuangan dapat melindungi diri sendiri, mereka juga bisa memilih produk investasi yang sesuai dengan kemampuan dan lihat aspek risiko,” jelas Tirta. (CNN Indonesia)