Perkuad-media.id, BATAM – Iran mengumumkan mulai memproduksi logam uranium dengan tingkat pengayaan kemurnian hingga 20 persen pada pekan ini, langkah yang membuat Amerika Serikat dan Eropa berang karena kian dekat ke batas untuk membuat senjata nuklir.
Iran menginformasikan langsung produksi logam uranium tersebut ke Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada Selasa (6/7) lalu.
“Hari ini, Iran menginformasikan kepada IAEA bahwa UO2 (uranium oksida) yang sudah diperkaya hingga 20 persen U-235 dikirimkan ke laboratorium di Pabrik Pembuatan Bahan Bakar di Esfahan,” demikian pernyataan IAEA yang dikutip Reuters.
Pernyataan itu berlanjut, “Nantinya [bahan itu] akan diubah menjadi UF4 (uranium tetrafluorida), kemudian menjadi logam dengan pengayaan hingga 20 persen U-235 sebelum digunakan untuk memproduksi bahan bakar.”
Dengan produksi logam uranium ini, Iran dianggap melanggar kesepakatan nuklir pada 2015 lalu, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan itu pada dasarnya diteken untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.
Dalam kesepakatan itu, Iran tak diperbolehkan memproduksi logam uranium karena dapat digunakan sebagai bahan dasar membuat bom nuklir.
Sebelum pengumuman ini, Iran juga sudah melanggar kesepakatan dengan membuat logam uranium yang tak melalui proses pengayaan kemurnian.
Sejumlah negara yang turut serta meneken JCPOA, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman pun langsung mengecam tindakan Iran ini.
“Iran tak butuh riset dan produksi logam uranium, yang merupakan langkah kunci dalam pengembangan senjata nuklir,” demikian pernyataan bersama ketiga negara yang dilansir Kementerian Luar Negeri Inggris.
Mereka menganggap keputusan Iran ini mengganggu proses perundingan kembali JCPOA yang sedang berlangsung di Wina saat ini.
Senada, Amerika Serikat juga menyatakan bahwa tindakan Iran ini membuat mereka mempertimbangkan kembali langkah untuk menjajaki lagi JCPOA.
Secara keseluruhan, perjanjian yang diteken oleh negara anggota tetap DK PBB beserta Jerman itu mewajibkan Iran membatasi pengayaan uranium hingga 3,67 persen, jauh dari keperluan mengembangkan senjata nuklir yaitu 90 persen.
Sebagai timbal balik, negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran. Namun, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump menarik diri dari JCPOA dan kembali menjatuhkan sanksi atas Iran.
Setelah itu, Iran geram dan terus menggencarkan program pengayaan uranium. Namun, setelah Presiden Joe Biden mengambil alih kepemimpinan, AS dan Iran menjajaki kemungkinan menghidupkan kembali JCPOA.
Seperti yang dikutip dari CNN Indonesia menurut Biden, perjanjian JCPOA efektif membuat Iran patuh menangguhkan program nuklirnya, sampai akhirnya Trump menarik AS keluar dari kesepakatan tersebut.(Li)