Perkuad-media id, BATAM – WALHI NTT membuat film Ata Modo, Elegi Orang Komodo yang berkisah tentang kehidupan masyarakat di Pulau Komodo, kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang telah turun temurun hidup akrab dan berbaur bersama Komodo (Varanus komodoensis).
WALHI NTT menyebutkan legenda yang menyebutkan komodo saudara satu rahim mereka (Sebae) ini diturunkan dari generasi ke generasi dan tercermin dalam pola kehidupan masyarakatnya sebelum konservasi menyentuh wilayah TNK.
Seandainya masyarakat menempatkan komodo sebagai musuh maka bisa jadi jauh sebelum negeri ini merdeka komodo telah punah. Artinya, peran masyarakat dalam melestarikan komodo itu sudah terbukti dari jaman dahulu bahkan sebelum Indonesia berdiri.
Bidong warga Pulau Komodo menjelaskan, sering ada kejadian kebakaran hutan di Pulau Komodo. Meskipun tengah malam dan cuacanya buruk sekalipun, warga tanpa disuruh terpanggil masuk ke hutan memadamkan api tanpa berpikir resiko demi menyelamatkan saudara mereka, komodo.
Ata Modo (orang asli komodo) sudah sejak lama hidup berdampingan dengan biawak Komodo (Varanus komodoensis). Menurut kepercayaan Ata Modo, komodo merupakan saudara satu rahim mereka (Sebae).
Dengan kepercayaan inilah, masyarakat Ata Modo telah mempraktikkan pola konservasi secara kultural terhadap komodo selama ribuan tahun.
Namun, kehidupan masyarakat komodo dan komodo sedang menghadapi ancaman akibat berbagai kebijakan pemerintah yang mengedepankan pariwisata rakus lahan, rakus energi, rakus air dan berbasis investor skala besar.
Bagaimana realitas kehidupan Ata Modo berhadapan dengan kebijakan-kebijakan tersebut? Hal itu merupakan cerita dalam film Ata Modo, Elegi Orang Komodo yang diluncurkan WALHI NTT, Jumat (30/7/2021). Dalam film berdurasi 30 menit tersebut masyarakat diberikan pandangan terkait konservasi yang selama ini dilakukan masyarakat di Pulau Komodo.
Dalam narasi film, WALHI NTT menyebutkan, Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan habitat alami Komodo, binatang purba yang hanya tersisa 3.022 populasinya di TNK.
TNK terdiri atas 3 pulau utama yakni Komodo, Rinca dan Padar dan banyak pulau kecil lainnya dengan luas 173.330 Ha.
Kawasan ini menyediakan perlindungan bagi spesies teresterial dan terancam punah lainnya. Dan merupakan rumah bagi masyarakat Ata Modo yang telah tinggal di daerah tersebut selama beberapa abad.
Dalam film tersebut, M. Sidik kepala Dusun I, Desa Komodo menyebutkan, Desa Komodo atau Pulau Komodo bukan hanya dilihat dari sisi satwa komodo saja tetapi juga budaya masyarakatnya.
Menurutnya, Indonesia kaya akan budaya dan suku termasuk salah satunya suku Ata Modo. Keunikannya, masyarakat komodo ini ratusan tahun yang lalu sudah hidup berdampingan dengan komodo. Legenda masyarakat menyebutkan binatang komodo adalah saudara mereka sendiri yang lahir dari rahim yang sama.
Haji Alim tokoh adat menyebutkan, dahulunya masyarakat komodo bukan menetap di pinggir pantai tetapi di atas gunung. Dia bertutur, dahulu kala, waktu perempuan mau melahirkan, perutnya dibelah sehingga pasti sang isteri meninggal sementara anaknya belum tentu meninggal.
Suatu saat anaknya Ompu Najo mau melahirkan dan membuat sekelompok orang asli suku Ata Modo gelisah, Mereka bertemu dengan seorang asal Pulau Sumba dan dia menanyakan kenapa, lalu dikatakan bahwa anaknya Ompu Najo mau dibelah.
Orang Sumba tersebut pun meminta agar disiapkan tali. Zaman itu, perempuan yang hendak melahirkan memegang tali sambil duduk di atas batu.
“Anaknya Ombu Najo pun melahirkan lalu dua orang anak, satu manusia dan satunya binatang komodo,” tuturnya.
Masyarakat dan Konservasi
Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan, legenda ini diturunkan dari generasi ke generasi dan tercermin dalam pola kehidupan masyarakatnya sebelum konservasi menyentuh wilayah TNK.
Seandainya masyarakat menempatkan komodo sebagai musuh, katanya, maka bisa jadi jauh sebelum negeri ini merdeka komodo telah punah. Artinya, peran masyarakat dalam melestarikan komodo itu sudah terbukti dari jaman dahulu bahkan sebelum Indonesia berdiri.
Dia menegaskan, kebijakan pemerintah terkait TNK sejak jaman kolonial Belanda hingga saat ini, telah mengubah pola kehidupan masyarakat komodo secara drastis setelah komodo diumumkan menjadi spesies baru yang harus dilindungi oleh ilmuwan barat.
“Masyarakat di Pulau Komodo membangun ekonomi tanpa merusak ruang hidup konservasi komodo. Peran yang selama ini dilakukan cukup baik oleh masyarakat bersama TNK,” ucapnya.
Bidong warga Desa Komodo menceritakan saat tampil sebagai pembicara di sebuah forum di Kota Surabaya, dia memperkenalkan diri lahir dan menetap di Pulau Komodo.
Sontak semua peserta kaget, ada yang percaya ada yang tidak. Ia sampaikan, jangan-jangan bapak ibu berpikir di Pulau Komodo itu hanya ada binatang Komodo saja, padahal masyarakat juga menetap di pulau tersebut.
Ia berceritera sejak kecil hidup berdampingan bersama komodo, akur akrab selayaknya sesama manusia. Semua hadirin langsung berdiri dan tepuk tangan.
“Artinya selama ini tidak ada yang menyampaikan bahwa di Pulau Komodo itu juga sejak dulu ada manusia yang menetap di sana,” sesalnya.
Bidong menjelaskan, sering ada kejadian kebakaran hutan di Pulau Komodo. Meskipun tengah malam dan cuacanya buruk sekalipun, warga tanpa disuruh terpanggil masuk ke hutan memadamkan api tanpa berpikir resiko yang dihadapi.
Masyarakat berpikir bukan padang rumput terbakar dan takut kepada pemerintah, tapi takut jangan sampai saudara mereka mati. Jangan sampai komodo mati.
“Kadang kami tidur di atas gunung dan sangat menikmati itu karena berangkat dari semangat menjaga saudara kami ini, komodo,” ucapnya.
Bidong tegaskan, alam TNK yang bagus lebih baik dipertahankan keasliannya, sebab itu yang premium dan jarang ditemukan di daerah lain.
Akbar Ketua Pokdarwis Desa Komodo menyebutkan, tentu banyak orang mengetahui bagaimana sejarah konservasi, bagaimana masyarakat Komodo ada. Mereka yang menyebut dirinya Suku Modo yang menghuni Pulau Komodo.
Dalam buku Ferien, katanya, disebutkan bahwa masyarakat Komodo sudah menempati pulau tersebut 2.000 tahun silam. Setelah itu Komodo baru dipublikasikan (bukan ditemukan) di tahun 1912.
“Hari ini kita dapat melihat perjalanan panjang itu bahwa konservasi tidak langsung begitu saja. Masyarakat Komodo hidup berdampingan dengan binatang purba ini di dalam satu pulau yang tentu dilihat sangat beresiko tinggi,” ucapnya.
Akbar menegaskan sampai hari ini terlepas dari orang mengatakan bahwa ini rasional dan irasional, yang jelas masyarakat Komodo memaknai atau mendefinisikan konservasi dengan persepsi mereka bahwa komodo adalah saudara dan tidak boleh diganggu.
Bingung Soal Premium
Umbu Wulang katakan, sejak Labuan Bajo ditetapkan menjadi salah satu dari 10 destinasi pariwisata nasional sejak tahun 2015, pengembangan pariwisata pun berubah dari berbasis masyarakat menjadi berbasis industri.
Ia tegaskan sebaik apapun model pariwisata yang dibangun, bila mengabaikan prinsip pelestarian dan konservasi komodo, maka berpotensi menghancurkan ruang hidup dan mengancam populasi komodo.
Konsep pariwisata super premium, lanjutnya, merupakan konsep top down dan tidak berbasis pada aspirasi atau pilihan rakyat. Negara muncul begitu saja melihat potensi yang ada dan itu dikapitalisasi menjadi wisata premium yang notabene lebih mengendepankan aspek pariwisata dibandingkan aspek konservasi.
“Seharusnya konservasinya yang dibuat premium, sebab kita tahu banyak ancaman terhadap kelestarian komodo di Pulau Komodo dan sekitarnya,” tegasnya.
Tahun 2018 dan 2019 marak terjadi praktik pencurian dan penyelundupan mata rantai makanan komodo seperti rusa dan lainnya oleh para pemburu liar.
Kejadian ini, katanya, seharusnya dicegah dengan mengedepankan infrastruktur yang memastikan tidak ada lagi aktifitas pencurian dan menjamin keselamatan komodo ke depannya.
“Bukan kemudian membangun pariwisata premium yang banyak menghasilkan energi kotor yang kontra produktif dengan kampanye pemanasan global dan perubahan iklim yang justru membahayakan masa depan komodo di kemudian hari,” sesalnya. (Mongabay.co.id)