Perkuad-media.id, BATAM – Mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menolak rencana pemerintah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari jasa pendidikan atau sekolah.
Sejauh ini, sebanyak tujuh dari sembilan fraksi di DPR RI telah menyatakan penolakan.
Mereka adalah F-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), F-Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), F-Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), F-Partai Keadilan Sejahtera (PKS), F-Partai Golongan Karya (Golkar), serta F-Partai NasDem, dan F-Demokrat.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP Putra Nababan menolak wacana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah.
Putra mengatakan sekolah bukan sebuah objek usaha yang harus dipungut pajak. Oleh sebab itu, ia menentang wacana pemerintah memungut pajak dari sekolah.
“Institusi sekolah itu kan bukan objek usaha, justru adalah satu institusi kawah candradimuka untuk menghasilkan anak bangsa yang berkualitas,” kata Putra.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dari Fraksi PKB menyatakan bahwa rencana pemerintah mengenakan PPN terhadap jasa pendidikan berpotensi memberikan dampak serius bagi masa depan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, salah satunya biaya pendidikan akan semakin mahal.
Menurutnya, sektor pendidikan masih membutuhkan uluran tangan pemerintah karena keterbatasan sarana prasarana serta potensi ekonomi. Ia pun menyarankan penerapan sistem subsidi silang seperti universal service obligation (USO) di dunia pendidikan untuk memeratakan akses pendidikan.
“Dengan sistem ini sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan. Dengan demikian kalaupun ada potensi pendapatan negara yang didapatkan dari sektor pendidikan maka output-nya juga untuk pendidikan. Istilahnya dari pendidikan untuk pendidikan juga,” kata Huda.
Lalu, anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Gerindra, Himmatul Aliyah, menyatakan rencana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah tidak konstitusional atau tidak sesuai dengan amanat Pasal 31 Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
“Ini tentu tidak etis sekaligus tidak konstitusional,” kata Aliyah.
Kemudian, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih mengaku heran wacana tersebut bisa muncul. Menurutnya, konstitusi menekankan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, sesuai pasal 31 UUD 1945.
“Jadi tugas negara membiayai Pendidikan rakyat, bukan sebaliknya rakyat membiayai Pendidikan dan dipajaki pula,” kata Fikri.
“Wacana ini telah mencederai cita-cita pendiri bangsa kita, yang tertulis jelas dalam preambule UUD 1945, yakni tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” imbuhnya.
Berikutnya, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menilai rencana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah tidak tepat.
“Kalau menurut saya memang kurang tepat. Memang mungkin pemerintah ingin menambah pemasukan untuk membiayai pembangunan, tapi sebaiknya jangan dari sektor pendidikan,” kata dia.
Hetifah mengatakan pajak jasa pendidikan bakal membuat beban masyarakat semakin berat. Dia kemudian mengungkit kasus kepala sekolah yang ditikam hingga tewas oleh orang tua murid gara-gara persoalan tunggakan uang komite.
Sedangkan, Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR Willy Aditya menyebut rencana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah sangat tidak bijak karena dilakukan di tengah situasi masyarakat sedang berjuang menghadapi situasi ekonomi yang masih terdampak pandemi Covid-19.
“Perbaikan regulasi itu untuk menaikan kepatuhan dan kemudahan menunaikan pajak. Sangat tidak bijak menaikan tarif pajak di saat masyarakat sedang berjuang keras untuk mempertahankan sumber dan nilai pendapatannya,” kata Willy.
Senada, Wakil Ketua Komisi X DPR Fraksi Demokrat Dede Yusuf mengatakan belum ada keputusan terkait wacana PPN jasa pendidikan. Namun, ia menyebut pimpinan Komisi X dan XI sepakat akan menolak wacana itu.
“Belum [semua anggota menolak] karena kami sedang rapat anggaran dengan beberapa kementerian dan lembaga, tapi pimpinan sih sepakat ini kita tolak,” ucap Dede, Jumat (11/6).
Sebelumnya, pemerintah berencana memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen dari sekolah dan jasa pendidikan. Kebijakan itu berpacu pada revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Jasa pendidikan alias sekolah sebelumnya masuk kategori jasa bebas PPN. Namun, dalam Draf RUU KUP yang diterima CNNIndonesia.com, pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa yang tidak dikenai PPN.
Merespons polemik tersebut, Menkeu Sri Mulyani mengaku belum bisa menjelaskan seluruhnya lantaran dokumennya masih dalam bentuk rancangan bocor ke publik.
“Kami dari sisi etika politik belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui Surat Presiden,” ungkap dia, dalam rapat di Komisi XI DPR, Kamis (10/6)
“Oleh karena itu, ini situasinya jadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, jadi kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari rencana pajak kita,” lanjutnya.
Di kutip dari CNNIndonesia.com